Warung itu memang kecil Beratap nipah dan berdinding gedek. Di sisi kanan dan kirinya, ada tanah kosong selebar tiga meter. Beberapa meja yang dikelilingi empat kursi pun tertata rapi. Bersih dan nyaman. Semilir angin sepoi-sepoi menambah nikmatnya duduk di warung kopi itu, persis di bawah rerimbunan pohon seri.
Khalayak kerap menyebutnya warung kopi “Kak Noni”. Letaknya pun strategis. Tak jauh dari kampus dan pemukiman. Masih sekitaran kota Medan. Warung kopi “ Kak Noni” rupanya melekat dengan pemilik warung. Orangnya ramah. Lesung pipitnya yang selalu berbarengan dengan senyum manis itu, membuat pelanggan warung kopi “Kak Noni” betah berlama-lama minum kopi. Konon, kabarnya Kak Noni, janda anak satu yang ditinggal mati suaminya.
Setiap hari, sekitar pukul 14.00 Wib, pelanggan mulai berdatangan. Keramahan dan senyum manis Kak Noni, membuat kepenatan hilang seketika. Dengan khasnya Kak Noni mulai menawarkan kopi, teh manis, susu, sampai makanan ringan seperti mie instan dan kue-kue kering yang menggoda. Pelanggan Kak Noni berasal dari berbagai kalangan: dosen, mahasiswa, pedagang sampai salesman.
Pelanggan cukup terkesan dengan nikmatnya seduhan kopi Arabica racikan Kak Noni. Hampir semua pelanggan penggila kopi, mengakui nikmatnya kopi Kak Noni itu. “Kopi Made In Kak Noni” pun jadi trend. Tak heran, kalau setiap hari pelanggannya makin bertambah. Tapi, belum jelas apa motif sebenarnya para pelanggan itu betah di warung Kak Noni. Apakah karena memang kopinya atau disebabkan keramahan dan senyum manis Kak Noni.
Begitulah. Ada tiga pelanggan Kak Noni yang tak pernah absen berkunjung ke warungnya. Lonjong Tarigan, Menek Siregar, dan Balga Sagala. Ketiganya memiliki beberapa kesamaan. Sama-sama duda, sama-sama keras kepala, sama-sama merasa pintar, dan sama-sama menyukai Kak Noni. Tapi, kecuali itu, mereka tetap berbeda. Bahkan mereka pernah sepakat untuk tidak sepakat, dalam hal mufakat.
Pukul 15.00 Wib, Lonjong Tarigan sudah datang duluan. Sambil memesan kopi hitam setengah gelas, Lonjong pun bercerita sedikit tentang pendapatannya agak lumayan hari ini. Dagangan pakaian bekasnya laris manis. Makanya, selain kopi, Lonjong juga pesan rokok Dji Sam Soe sebungkus. Biasanya, dia hanya pesan per batang. Harapannya, ia bisa mengambil hati Kak Noni.
Berselang 15 menit, Menek Siregar pun muncul. Setelah memesan kopi susu, Menek juga bercerita kalau hari ini jualan kolang-kalingnya agak lumayan. Menek juga memesan mie instan. Sebelum duduk di meja Lonjong Tarigan, tak lupa Menek mengkerlipkan matanya pada Kak Noni, sambil melempar senyum.
Tak lama Menek Siregar duduk, Balga Sagala pun menunjukkan batang hidungnya. Karena memang tak mau sama dengan kedua rekannya, Balga pun memesan kopi sanger. Kepada Kak Noni, Balga banyak senyum sambil membisikan kalau dagangan rotinya hari ini banyak peminat. Balga langsung bergabung dengan Lonjong dan Menek.
Kendati mereka duduk bersama, ketiganya tak berdialog. Diam membisu. Tapi, mata ketiganya tertuju pada Kak Noni yang sedang mempersiapkan minuman untuk pelanggan. Tak berkedip. Kedua mata mereka mengikuti kemana gerak langkah Kak Noni. Ketiga duda tak laku ini sebenarnya tahu sama tahu kalau mereka menyukai Kak Noni. Walau sudah berbulan memendam hasrat, tokh kak Noni tak pernah memberikan harapan. Inilah yang membuat ketiganya terus penasaran
Tapi, hari ini, Kak Noni mendekati mereka dan duduk di antara mereka. Ketiganya bingung dan salah tingkah. Sebab, Kak Noni tak pernah seperti ini. Dibarengi senyum yang dihiasi lesung pipinya, Kak Noni menatap mereka satu persatu. Kak Noni pun tahu, kalau mereka bertiga menaruh hati padanya. “ Har ini, aku mau cerita”, kata Kak Noni. Ketiganya saling pandang, dan masing-masing memperbaiki cara duduknya.
Adolf Hitler, kata Kak Noni, adalah orang yang menciptakan istilah “Holocaust” atau pembantaian rasial. Seluruh dunia menganggap ini sesuatu yang mengerikan. Adolf Hitler adalah monster yang menakutkan. Namun, ternyata Hitler masih memiliki cinta. Hatinya terpaut dengan Eva Braun.
Saat Hitler terkepung pada 29 April 1945 di persembunyiannya, ia tetap ingin bersama kekasihnya, Eva Braun. Hitler sadar, ia tak mungkin bisa lari. Eva Braun juga sadar, ia tak akan mungkin hidup dalam situasi itu. Namun, Eva Braun tidak meninggalkan Hitler walauopun ia tahu akan terkubur hidup-hidup.
Situasi makin gawat. Lalu, Hitler dan Eva Braun masuk kamar. Keduanyapun bunuh diri. Pilihan terakhir yang harus mereka jalani ketimbang mati di tangan musuh. Keduanya telah menunjukkan bahwa cinta bukan hanya kesenangan hidup, tapi juga persiapan untuk mati.
Nah..sekarang yang aku tanyakan, seandainya aku di posisi Eva Braun, kenapa aku mau mencintai monster Hitler, dan mengapa pula Hitler hanya mau mencintai aku ? Tiba-tiba Kak Noni bangkit dan pergi karena ada pelanggan yang memesan kopi.
Mendengar pertanyaan itu, Tarigan, Siregar dan Sagala, tampak bermuka masam. Mereka serentak bangkit dari tempat duduk sambil berfikir. Perlahan-lahan mereka berjalan dengan muka cemberut, dan berlalu tanpa membayar uang kopi. Kak Noni pun mengelus dada, karena pendapatannya berkurang gara-gara ketiga duda sontoloyo itu. (Sattar).