Siang bolong, salah seorang pengurus pesantren Hidayatullah Toili, Sukri Hontjiang Nasief, langsung mencebur ke rawa. Bukan karena gerah kepanasan, ia terkejut melihat tubuh istrinya sudah berlumuran darah.
“Awalnya, sementara mencuci, tiba-tiba saya tersentak. Istri sudah disambar buaya bagian perutnya,” kenang pria yang akrab disapa Sukri membuka cerita khas dengan logat Bugisnya.
Buaya sepanjang 3 meter—lebih besar dari badan Sukri—sudah mencengkeram kuat perut ibunda dari Fitri Amalia ini.
Kejadian pada Desember 2007 silam tersebut, menjadi sejarah tak terlupakan bagi Sukri. Selesai mengajar, ia mengajak istri dan anak gadisnya yang masih usia belia pergi ke rawa untuk mandi dan mencuci.
Saat itu, fasilitas air bersih memang masih sulit sekali. Rawa di samping pesantren pun menjadi satu-satunya sumber air. Sukri sempat melihat buaya besar itu mengibas-ibaskan tubuh sang istri beberapa kali. Merah darah tampak mewarnai air rawa di sekitar awak buaya.
Sang anak hanya bisa menatap dari tepian, tubuh sang ibunda terpontang-panting tak terkendali. Pada wajahnya tidak tampak raut ketakutan. Suasana pun tegang dan mencekam!
“Saya langsung lompat selamatkan istri,” lanjut Sukri. “Jangan sampai istri saya dibawa ke tengah (rawa). Sebab, saya akan sulit mengejar dan melawan itu buaya.” Sukri terus berusaha melepaskan istri dari gigitan. Beberapa kali ia layangkan bogem sekeras-kerasnya ke perut buaya, tapi tak mempan. Si buaya justru semakin mengganas dan membabi buta.
Ayah dari tujuh anak ini sudah bergelut dengan buaya sekitar 15 menit pada kedalaman air 1,7 meter. Tapi, tubuh sang istri tak kunjung lepas dari gigitan binatang reptil ini. Bahkan, ayah dari tujuh anak ini tidak sadar lengan kanannya sudah robek—hingga bagian siku—terkena gigitan.
“Saya sudah nggak punya cara lain. Bismillah, saya masukan tangan kiri ke dalam kerongkongan buaya itu. Saya garuk agar buaya terangsang dan melepaskan istri,” kenangnya.
Benar saja, setelah memutar tubuhnya dua kali, buaya melepas gigitan pada perut sang istri. Tak lama kemudian, juga melepas gigitan pada lengan kanan Sukri. “Begitu saya papah istri ke tepi rawa, tiba-tiba buaya mencoba menyambar lagi dan mengenai lengan kiri saya hingga patah,” kenang Sukri masih trauma.
Beruntung, setelah Sukri berteriak meminta tolong. Beberapa santri yang mendengar langsung datang ke lokasi. Buaya akhirnya berenang menjauh ke tengah rawa. Akibat kejadian itu, Sukri mengalami luka robek cukup panjang pada bagian lengan kanan. Lengan kirinya patah antara siku dan pergelangan. Bahkan, masih cacat hingga sekarang. Sedang istri tidak hanya luka robek.
Selebaran Tausyiah
Berdakwah dan menjadi da’i memang bukan perkara mudah. Seorang da’i harus selalu tanggap dalam berbagai situasi. Sebagaimana yang dialami Sukri selama dakwah di pedalaman Toili, Sulawesi Tengah.
Sekitar 2006, setahun sebelum sang istri diserang buaya, Sukri pernah difitnah tokoh agama setempat mengajarkan pemahaman sesat. Bahkan, ia sempat diancam akan dibunuh. “Ancaman itu tidak secara langsung. Teman dekat sampaikan ke saya,” katanya.
Pertama, ketika tokoh agama ini menjadi imam shalat Subuh di masjid yang tidak jauh dari lokasi pesantren, ia mendoakan Sukri agar segera mati. Bahkan, tokoh agama berdoa sambil menangis dan diaminkan para jamaahnya.
“Kedua, saya juga dilaporkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) setempat,” selorohnya.Apa penyebabnya? “Waktu itu, kebetulan saya masih kuliah di Universitas Muhamadiyah Luwuk Banggai. Saya punya dosen kasih selebaran, isinya tausyiah. Saya belum sempat baca sama sekali. Dosen minta saya fotocopy dan membagikan ke semua teman kampus,” jelas Sukri membuka kisah.
Ternyata, selebaran tausiyah itu mengupas tentang perayaan maulid Nabi, tahlilan, dan acara sejenisnya. “Inti dari bahasan selebaran ini sangat tegas. Maulid Nabi dan tahlilan hukumnya haram!” beber Sukri.
Sebetulnya Sukri sempat kaget, sebab ia tak tahu menahu isi selebaran itu. Sementara, ia sudah menyebarkan sebanyak 140 lembar. Celakanya, selebaran juga sampai ke tangan seorang tokoh agama. Maklum, sekitar 90 persen teman kampus Sukri berpemahaman sebagaimana tokoh agama tersebut.
Berjamaah
Pria kelahiran Kalumbatan 17 Agustus 1971 ini, mengabdikan diri untuk dakwah Islam pertama kalinya tahun 1993 sampai 1995 bersama pesantren Hidayatullah Tomohon. Setelah itu, ia keluar pesantren, karena ingin fokus membina keluarga yang masih minim pemahaman tentang Islam. Tapi, apa hendak dikata, ilmu kurang, iman pun demikian. Ia memutuskan kembali bergabung dengan teman-teman seperjuangan.
Tahun 1998, Sukri mendapat kabar dari kerabatnya, bahwa ada perintisan Hidayatullah Toili di Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah. Tanpa tendeng aling, ia bergegas menuju lokasi perintisan untuk ikut berjuang, terutama hidup berjamaah dalam dakwah.
“Bagi saya, Hidayatullah telah mengajarkan tentang bagaimana perjuangan, baik di medan dakwah, maupun meniti kehidupan,” jelas suami dari Rosdiana Tayeb ini. Apa yang dibilang Sukri bukan isapan jempol. Bisa dibuktikan! Selama bergabung dengan Hidayatullah, manis getirnya berjuang kenyang ia rasakan.
Seperti, ketika ia dipindah-tugaskan dari Toili merintis kampus Hidayatullah di Desa Binohu, Kecamatan Bunta, Luwuk Banggai (1999-2001). “Dulu, kampus sering didatangi ular besar. Lokasinya jauh dari pemukiman warga. Kita harus selalu waspada tiap waktu,” Sukri bergidik membayangkan masa itu.
Ditambah, listrik belum masuk Desa Binohu. Padahal, untuk menuju desa binaan ia harus menempuh jarak belasan kilometer; melintas jalan terjal berbatu, berkelok tajam dan berlumpur kala musim hujan.
Kalau malam tiba, suasana gelap gulita. Ada cahaya itupun saat bulan sedang purnama.“Sempat juga mengadakan listrik tenaga diesel. Cuma nggak lama berjalan, sekitar setahun berhenti. Mesin dieselnya rusak!” selorohnya. Sejak 2002 hingga sekarang, Sukri dipindahtugaskan lagi di Hidayatullah Toili.