Sang Legenda Dari Lembah Garoga

Medan – Hari ini, 16 Agustus, 61 tahun yang lalu, adalah detik-detik bersejarah bagi intelektual tanpa batas ini. Cendikiawan dan ulama kebanggaan masyarakat Sumatera Utara itu, mulai merangkak sebagai wujud perjuangan menggilas congkaknya sinar mentari di siang hari.

Tetesan air mata pertamanya disambut kicauan burung dan suara gemersik daun nyiur yang mengelilingi tempat tinggalnya. Di rumah kecil yang sederhana, diselimuti kesunyian dan kesepian, Profesor itu dilahirkan seorang ibu yang taat beragama. Nun jauh di sana, di sebuah desa kecil di lembah hutan belantara, Desa Garoga, Padang Bolak, Padang Lawas Utara (Paluta), sekitar 400 Km dari Medan. Sampai hari ini, Desa itu hanya dihuni 70 Kepala Keluarga.

Di situlah, Prof. Dr. H. Syahrin Harahap, MA, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara Medan priode 2020-2024, dilahirkan dan dibesarkan. Tak disangka, kendati hidup dibalut kesusahan dan bermandikan kekurangan, ternyata Prof. Syahrin tumbuh dengan mengantongi kecerdesan yang luar biasa. Ia tak hanya mahir berbicara tentang filsafat, pendidikan dan perbandingan Agama, tapi juga lihai mengungkap relung-relung serta nilai-nilai kehidupan yang tak terpikirkan orang lain.

Lihatlah, opung empat cucu ini telah menulis sekitar 60 buku. Topiknya, mulai dari filsafat, pendidikan, agama, lingkungan sampai soal hati manusia. Tak heran, pria yang lahir pada 16 Agustus 1961 dan Bapak tiga anak  ini, telah mengampu 101 mata kuliah yang beragam di UIN Sumatera Utara. Sebuah perestasi dan dedikasi yang tak semua orang bisa melakukannya.

Mengabdi dalam dunia pendidikan, adalah harga mati yang telah terpatri dalam hati Prof. Syahrin—panggilan akrabnya. Makanya, ketika ia berhasil menyelesaikan S1 (Drs) di Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Medan, Prof. Syahrin terbang ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyelesaikan S2-nya (M.Ag) pada 1990. Dan, tiga tahun kemudian, 1993, ia berhasil menyabet gelar S3 (Doktor) di kampus yang sama.

Pengabdiannya itu membuahkan hasil. Jumat 11 Maret 2022, Prof. Syahrin dinugerahi dan dinobatkan sdebagai tokoh “Pejuang Pendidikan” oleh Dewan Harian Nasional (DHN) Badan Pembudayaan Kejuangan 45. Acaranya berlangsung di aula Tengku Rizal Nurdin kantor Gubernur Sumatera Utara, “Saya bersyukur dan bahagia, karena memang itu keinginan saya sejak kecil. Allah mengabulkan doa saya”. Begitu komentarnya.

Ya. Bila merujuk ke belakang, wajar memang kalau Prof.Syahrin menyandang anugerah tersebut. Pria yang lahir 61 tahun lalu di Garoga, Padang Lawas Utara (Paluta) itu, agak aneh bila dibanding dengan teman sebayanya. Bayangkan, waktu itu, Syahrin kecil tetap menyebut dia akan menjadi Profesor, kepada siapa saja yang bertanya tentang cita-citanya. Padahal, dia sendiri nggak tahu apa arti Profesor itu. Yang dia tahu, Profesor itu adalah orang pintar dan hebat.

Memang, kata-kata “Profesor” itu, barang langka di desa kelahiran Prof. Syahrin. Garoga, Padang Bolak, Padang Lawas Utara (Paluta), Sumatera Utara, itu adalah desa kecil yang dikelilingi hutan dan lembah. Pegunungan dan danau, merupakan sisi lain yang menambah indah desa yang berjarak tempuh sekitar 10 jam dari Medan. Mata pencaharian penduduknya adalah pertanian dan mengolah hasil hutan. Tak terbayangkan, jika kelak lahir seorang Profesor hebat dari desa ini.

Dicurigai Menteri

Karena terinspirasi bahwa Profesor itu adalah hebat, Syahrin kecil sangat giat belajar.  Kepintarannya sudah terlihat sejak Syahrin masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Melihat kepintaran Syahrin, guru-gurunya pun takjub. Syahrin lah satu-satunya murid SD di sekolahnya yang naik kelas sampai dua kali dalam setahun.

Kepintaran Syahrin juga terlihat ketika ia bergelut di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Medan. Syahrin berkutat terus dalam dunia pendidikan sampai akhirnya mendapat gelar Doktor. Syahrin memang luar biasa. Ketika ia masih golongan III/D, Syahrin mampu langsung melompat mendapatkan gelar Guru Besar atau Profesor.

Lompatannya itu membuahkan kecurigaan di Kementerian. Pihak-pihak yang berwenang tak yakin dengan perestasi Syahrin itu. Kementerian pun membentuk tim untuk memeriksa “loncatan” Syahrin tersebut. Hasilnya, pihak Kementerian pun mengakui kehebatan Syahrin. Gelar Profesor yang disandang Syahrin memang benar-benar wujud dari kerja keras dan kesungguhannya.

Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan S3 nya di Jakarta, kiprah Syahrin dalam dunia pendidikan terus berkibar. Dalam sehari terkadang Syahrin menjadi narasumber di tiga acara seminar, di samping kesibukannya menjadi dosen di UIN Sumut. Tak hanya seminar dalam negeri, tapi juga seminar Internasional yang diselenggarakan di luar negeri.

Mungkin karena itu pula, pada 2017 lalu, Perdana Menteri Thailand menganugerahkan dan menobatkan Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA sebagai salah satu tokoh yang mempersatukan di Asia Tenggara. Sebuah perestasi yang tak bisa digapai semua orang. Perlu keilmuan, keseriusan dan keberanian dalam menggagas ide-ide.

Tepat pada 6 Nopember 2020 sekitar pukul 10.00 Wib, Prof.Dr.Syahrin Harahap MA, memulai sejarah baru dalam hidupnya. Saat itu, Menteri Agama RI, Fakhrurrozi, menetapkan dan melantiknya menjadi Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sumut priode 2020-2024. Pria bersahaja dan lembut ini pun harus menggeluti fase baru untuk menghiasi cita-citanya. Fase yang penuh tantangan, antara pikiran dan kenyataan.

Pengangkatan dan penetapan Prof. Syahrin ini menjadi Rektor pun sebenarnya kelihatan aneh. Biasanya yang menjadi Rektor itu adalah akademisi birokrat kampus. Sedangkan Prof Syahrin adalah seorang ilmuwan. Tapi justru “keanehan” itulah yang membuat Prof. Syahrin profesional dan matang dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Kebahagiaan memang terpancar di raut wajahnya. Maklum, dari segi karier, sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), tentu ini merupakan jenjang terrtinggi yang telah diraihnya. Namun, di balik sorot matanya yang tajam, jelas tersimpan beban berat yang harus dijalaninya untuk sebuah cita-cita dalam dunia pendidikan, yang telah puluhan tahun digelutinya.

Ya, beban berat memang. Bersamaan dengan pelantikannya sebagai Rektor, UIN Sumut disorot habis-habisan karena kasus “gedung mangkrak”, Ma’had (Asrama Mahasiswa) kampus Tuntungan, dan pembelian lahan 100 Ha di desa Sena, Batang Kuis, Deli Serdang. Ketiga kasus besar ini muncul di era Rektor UIN Sumut dipimpin Prof. Saidurrahman, yang akhirnya menyeretnya ke terali besi.

Menghadapi itu, Prof. Syahrin bergerak cepat. Kasus “gedung mangkrak” yang berbiaya sekitar Rp.50 Miliar itu sudah terselesaikan, dan pembangunannya akan diambilalih kementerian PUPR. Untuk kasus Ma’had, sudah ada solusi serta pembangunannya akan dilanjutkan. Sementara, dalam kasus tanah Sena, Prof. Syahrin telah membentuk tim khusus untuk penyelesainnya.

Ketika sekitar 4 bulan ia menjabat Rektor UIN Sumut, ada beberapa programnya yang menyentak public. Antaranya, merevitalisasi anggaran, mendirikan Profesor Corner sebagai medium merawat warisan (legacy) para guru besar UIN Sumut, mendirikan Academic Writing Center (AWC) untuk memperkuat kualitas publikasi ilmiah civitas akademik kampus, kemudian mengoperasionalkan museum Alquran dan Peradaban Islam UIN Sumut.

Sebagai penggagas Wahdah al’ulum, sebuah metodologi keilmuan, Prof. Syahrin memang banyak berkutat pada pengembangan keilmuan dan peradaban. Moderasi beragama misalnya. Prof. Syahrin terus mensosialisasikannya melalui berbagai seminar dan ceramah, sehingga Wahdatul Ulum dan moderasi beragama yang digagasnya itu kini menjadi pemikiran yang berkembang di Sumatera Utara dan Indonesia.

Prof. Syahrin bersama Gubsu Edy Rahmayadi

Membludak

Setelah setahun menjabat Rektor UIN Sumut dengan berbagai terobosan yang dilakukannya, Prof. Syahrin bisa sedikit tersenyum. Ternyata, berdasarkan hasil survey, peminat masyarakat untuk kuliah di UIN Sumut, membludak tajam. Dari dua pintu untuk masuk ke UIN Sumut, mahasiswa yang mendaftar mencapai 12 ribu orang. Sedangkan UIN Sumut membuka lima pintu masuk. Padahal yang diterima setiap tahunnya hanya sekitar 7000 mahasiswa.

Kini, UIN Sumut mengelola enam kampus dengan aset Rp.3,4 triliun,  yang terletak di Jln Sutomo Medan, Jln Williem Iskandar, Pondok Surya, Tuntungan, Tebing Tinggi dan desa Sena Batang Kuis. Untuk yang disebut terakhir, direncanakan akan dibangun kampus terpadu dan Fakultas Kedokteran.

Sebenarnya, ada kebahagiaan tersendiri yang dirasakan Prof. Syahrin. Sejak ia menjabat Rektor UIN Sumut. Masyarakat dan pemerintah daerah berduyun-duyun memberi dukungan penuh. Antaranya, Pemko Tebing Tinggi telah memberikan hibah gedung perkuliahan, Pemkab Labuhan Batu juga memberikan hibah untuk lahan kampus. Belakangan, Pemkab Tapanuli Tengah juga menawarkan tiga hektare tanah di tepi laut untuk dibangun observatorium. Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu), Pemko Medan, Pemkab Deli Serdang, Pemkab Batubara, Pemkab Asahan, dan beberapa Pemkab lainnya telah menjalin kerjasama dengan UIN Sumut.

Melihat perkembangan pendidikan ini, Prof Syahrin teringat dengan ungkapan seorang guru besar Jerman yang bertemu dengannya beberapa waktu lalu. “ Indonesia adalah raksasa yang sedang bangkit. Sebab, anak-anak Sumatera Utara ini belajar dan menuntut ilmu di semua Benua yang ada dunia ini”.

Peduli Pendidikan

Pemikiran Prof.Syahrin Harahap tentang pendidikan ini telah diuji dalam sebuah karya ilmiah. Ridwan Harahap, mahasiswa Fakulktas Agama Islam (FAI) Universitas Alwashliyah Medan, telah mengangkatnya sebagai judul skripsi. Dan pada 12 Nopember 2011, ia dinyatakan lulus dengan nilai A, dalam sidang munaqosyah.

Berdasarkan penelitian Ridwan, Syahrin termasuk tokoh yang sangat peduli terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Sebab ada beberapa aspek dari pendidikan yang perlu dimodernisasi demi kemajuan dan relevansinya di zaman modern.

Aspek landasan filosofinya, dimana pendidikan ke depan dijalankan pada falsafah rational- theocentric.Syahrin menekankan agar umat Islam lebih obyektif dalam memandang Barat. Sebab, Barat itu tidaklah selamanya jahat dan jelek. Ia memiliki prinsip bahwa yang mesti diadopsi oleh umat Islam saat ini adalah peradaban Baratnya (hadharah, civilization) yang bersifat global dan universal. Bukan kebudayaan mereka (saqafah, culture) yang bersifat lokal dan sering kali jelek, jahat, kejam dan menyebalkan.

Prof Syahrin menekankan pemahaman bahwa satu-satunya sumber ilmu pengetahuan bagi manusia adalah Allah SWT. Pandangan ini dianggap penting sebagai antisipasi terhadap munculnya sikap antroposentrik dan bahkan terpisahnya seorang penuntut ilmu (anak didik) dari fitrah dan bahkan dari Tuhannya,

Di samping itu, Syahrin menekankan agar semua ilmu yang ada di jagad raya harus dipandang sebagai milik Allah. Kesimpulan lain yang dikemukakan Ridwan bahwa Syahrin menekankan perlunya optimalisasi fungsi akal dan kalbu secara seimbang. Namun, agar tidak terjadi kebablasan dalam penggunaan akal (berpikir) perlu diseimbangkan dengan pendayagunaan hati (perasaan) sekaligus.

Syahrin menggariskan guru harus senantiasa akrab dengan informasi media yang aktual, guru harus mampu memahami lapangan kerja dan senantiasa memotivasi siswanya untuk berwirausaha, guru harus senantiasa menjalin kerjasama dengan orang tua siswa demi keberhasilan proses belajar mengajar, guru harus mampu bertanggung jawab dan mengarahkan pendidikan pada penegakan dasar moral keagamaan, sehingga anak didik mampu membedakan antara yang baik dan jahat.

Guru harus mengubah pola hubungannya dengan murid, yaitu hubungan yang berdasarkan hati nurani, bukan berdasarkan materi semata. Menurut Syahrin juga perlu dilakukan integrasi ilmu pada setiap kurikulum pendidikan, dimana ia harus mencerminkan keterpaduan antara ilmu-ilmu umum dan agama. Sebab, semua ilmu itu pada hakikatnya sama, yaitu ilmu Islam, yang bersumber dari Allah dan keduanya sama cepatnya mengantarkan manusia kepada kemajuan. 

Mandi di Hutan

Tak banyak yang tahu kalau Prof. Syahrin juga pernah menjalani “mistikasi” Islam. Ceritanya begini. Waktu itu, Prof. Syahrin telah menyelesaikan pendidikannya di salah satu Pesantren di desanya. Ia berniat untuk mengejar ilmu di rantau orang. Niat itu disampaikannya pda orang tua dan guru-guru di pesantrennya.

Kendati kabar itu menyentak, tapi ada yang bisa menghentikan cita-cita luhur Prof. Syahrin tersebut. Setelah berembuk, guru-guru di pesantrennya sepakat melepas Prof. Syahrin dengan catatan ia harus dibekali “semangat spritual”. Maksudnya, agar kelak Prof. Syahrin sukses dan jadi orang besar di negeri orang.

Pada suatu malam, Prof. Syahrin pun diajak mendaki gunung di tengah hutan. Tentu saja, udara dingin dan suara desiran angin, sedikit membuat Prof. Syahrin merinding. Prof. Syahrin berjalan dengan tangan kosong, sedangkan guru-gurunya membawa tiga ember besar berisi air.

Setelah sampai di atas gunung, Prof. Syahrin pun duduk bersila sembari menatap tanah. Saat itulah, didahului dengan doa-doa, Prof. Syahrin dimandikan secara perlahan sampai tiga ember berisi air tadi habis. Walau kuyup dan gemetar, Prof. Syahrin belum memahami makna di balik prosesi spritual itu.

Entah kebetulan atau tidak, hasilnya bisa dilihat sekarang. Selain berhasil meraih Profesor atau guru besar, Prof. Syahrin telah dianugerahi sebagai “Pejuang Pendidikan”, sesuai dengan harapannya sejak kecil. Tapi, tak cuma itu, Prof. Syahrin sudah dikenal sebagai ulama, cendikiawan, dan intelektual Muslim kaliber internasional, yang menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Utara.

Dengan predikat itu, kayaknya Kementerian Agama (Kemenag) RI, tak salah memilih dan menetapkan Prof. Syahrin sebagai Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara, Medan. Paling tidak, selain sebagai ladang pengabdian untuk bangsa ini, Prof. Syahrin bisa menerapkan ilmu, ide atau gagasan dalam memajukan dunia pendidikan Islam di Sumatera Utara khususnya.

Mungkin, Prof. Syahrin merasakan sesuatu dalam ritual mistis tadi. Makanya, ia pernah merencanakan, agar para calon pengantin yang menyewa gedung Gelanggang Mahasiswa UIN Sumut di Jalan Sutomo Medan untuk resepsinya, dibekali sedikit dengan rukyah. Misalnya, saat pengantin usai akad nikah, dimandikan dengan ritual yang dipimpin ahli rukyah. Tujuannya, agar sang pengantin tidak akan berpisah sampai ajal menjemputnya.

Mata Batin

Sebagai seorang santri, yang kemudian menjadi seorang Ulama, Prof. Syahrin memiliki kelebihan tersendiri. Salah satunya adalah mata batinnya yang tajam. Ini pernah dibuktikan dan dilihat langsung oleh seorang anak ulama yang berasal Paluta. Kebetulan putra ulama itu kini mengasuh Pesantren yang ada di Paluta.

Beberapa tahun lalu, Prof. Syahrin berencana ingin menulis sejarah ulama-ulama yang berasal dari Padang Lawas Utara. Tujuannya untuk mengabadikan dan menggali sisi lain dari sosok ulama tersebut. Penggalian dan penulkisan ini tentu membutuhkan riet lapangan dan literatur yang memadai.

Sampai di Paluta, Prof. Syahrin langsung menuju pesantren yang didirikan Syekh Nawawi Harahap (Alm). Prof. Syahrin diterima keluarga dan putra Nawawi Harahap. Usai berbincang dan mengutarakan tujuannya, Prof. Syahrin meminta buku-buku yang ditinggalkan Syekh Nawawi Harahap. Ada tujuh buku yang disodorkan keluarga Syekh Nawawi Harahap

Prof. Syahrin membuka buku-buku tersebut satu persatu. Pada buku ketiga, Prof. Syahrin membuka halaman tengah buku tersebut. Keluarga Syekh Nawawi Harahap terkejut, tiba-tiba Prof. Syahrin meneteskan air mata. Sambil menangis Prof. Syahrin menyebutkan, bahwa Syekh Nawawi Harahap masih hidup. Di buku inilah jiwanya. Tak ada yang mengerti, dan tak ada pula yang bertanya mengapa Prof. Syahrin mengucapkan kata-kata itu. Dan, sampai kini tetap menjadi misteri.

Soal mata batin ini,  Rasulullah pernah  bersabda pada sebuah hadist Riwayat At Tirmidzi: “Takutlah kamu akan firasat orang mukmin karena ia memandang dengan cahaya Allah.” Dalam Alquran Surat Al Hajr ayat 75, Allah juga berfirman: “Sesungguhnya pada peristiwa itu terdapat tanda- tanda bagi Al Mutawassimin.”

Al Mutawassimin menurut penafsiran ulama, adalah orang-orang yang mempunyai firasat, yaitu mereka yang mampu melihat atau mengetahui suatu hal dengan mempelajari tanda-tanda yang diberikan. Mata batin yang terbuka juga disebut dengan istilah Bashirah, di mana penglihatan batin akan memancarkan ilmu yang berupa firasat. Ilmu ini didapatkan dari hati yang bersih dan jernih karena sering berzikir dan banyak berpikir.

Mata batin merupakan bagian dari batin yang paling dalam atau biasa disebut juga dengan perasaan dalam hati. Biasanya, mata batin ini dikaitkan dengan kemampuan melihat suatu hal yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia. Tak heran, jika mata batin erat hubungannya dengan suatu hal yang gaib dan tak nampak. Dalam Islam, mata batin berkaitan dengan ilmu tasawuf. Tidak lain karena mata batin berhubungan dengan hati. Tidak semua orang memiliki kemampuan mata batin yang dapat melihat suatu hal yang tidak umum dilihat oleh sebagian besar orang.

Terbukanya mata batin bisa terjadi pada orang yang memiliki perjalanan spiritual yang baik. Dapat dikatakan, bahwa terbukanya mata batin adalah sebuah anugerah yang diberikan oleh Allah. Biasanya yang memiliki kemampuan mata batin ini adalah wali dan kekasih Allah.

Sederhana dan Merakyat

Kendati bergelar Profesor, Ulama, dan intelektual, plus Rektor UIN Sumut, Prof. Syahrin tetaplah cendikiawan yang sederhana dan rendah hati. Penampilannya Low profile. Busana, sepatu dan arloji yang dipakainya pun terbilang biasa-biasa saja. Bahkan, kediamannya pun dalam sebuah gang, agar bisa berbaur dengan masyarakat luas. Makanya, ia kerap terlihat dalam kegiatan sosial di lingkungannya seperti, wirid yasin, kemalangan sampai acara memberangkatkan jamaah haji.

Prof. Syahrin tak pernah membedakan dirinya dengan masyarakat awam. Di matanya, semua manusia sama, dan memiliki kelebihan masing-masing. Dan, semua itu adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Tak wajar untuk disombongkan, dan tak pantas untuk dibanggakan. Hidup hanya sementara, dan semuanya akan kembali ke pangkuanNya.

Bagi yang kerap bersama Prof. Syahrin, tentu bisaa melihat kesederhanaan dan merakyatnya Prof. Syahrin. Ia kerap duduk di kafe pinggir jalan untuk sekedar berdiskusi dengan bawahannya atau rekan sejawat. Bahkan, Prof. Syahrin sering terlihat duduk di kedai kecil di tanah garapan ngobrol bersama warga di sana. Malah, ia makan bersama dengan lauk seadanya. Prof. Syahrin berusaha menghapus “sekat” sosial, yang kerap ditonjolkan orang-orang yang merasa dirinya lebih dari orang lain.

Tengoklah di Kampus UIN Sumut Jalan Sutomo Medan. Di kampus ini, Prof. Syahrin sering duduk di depan Masjid Ulul Albab. Ia mengajak nazir Masjid, Satpam dan Cleaning Service untuk ngobrol dan diskusi. Dipesannya kopi dan teh manis serta mi instan, lalu menyantapnya bersama. Semua berjalan biasa saja. Tak jarang pula Prof. Syahrin naik beca mesin ke kampus ini dari kediamannya. Ketokohannya tak menghalangi Prof. Syahrin untuk “bergaul” dengan masyarakat kelas bawah.

Sama seperti pendiri Facebook, Mark Zuckerberg yang hidup serba sederhana. Ketika ia punya kekayaan sebanyak Rp 600 triliun atau $46.1 miliar ia malah makan di McDonalds yang dikenal dengan harganya yang merakyat. Ketika menikah dulu, ia menggunakan halaman belakang rumahnya untuk resepsi pernikahan. Padahal, ia punya banyak uang untuk merayakan pernikahan serba mewah, seperti pesta di Maldives.

Itulah Prof. Syahrin, dengan berbagai kelebihannya, ia justru memilih “kekurangannya” untuk mewujudkan jati dirinya. Berangkat dari anak desa yang penuh lembah, kini ia bisa meraih mimpi di puncak bianglala. Prof. Syahrin bukan hanya pantas menyandang Ulama, inteklektual, cendikiawan, tuan guru, dan pejuang pendidikan. Tapi, lebih dari itu. Prof. Syahrin adalah legenda hidup yang bersinar seperti bintang kejora. Sang Legenda dari lembah Garoga. Tar

Pos terkait